Selasa, 09 Juni 2009

Karena Ikan Seperti Manusia

01 January 2008
Karena Ikan Seperti Manusia


Totalitas dalam budidaya ikan akan mengantarkan pada kesuksesan

Petang membayang. Hanan masih berkubang dalam kolam. Tenang dan mantap tangannya bergerak menangkap ikan gurame yang terkumpul dalam wadah tong plastik. Tanpa menimbang, lelaki 53 tahun itu menyortir ikan-ikan tersebut dengan ukuran sepadan. Ikan-ikan sortiran ditempatkan terpisah di wadah lain. Sementara yang bagus dimasukkan kembali ke kolam.
Hanan, pembudidaya, pengepul sekaligus pemasok ikan di wilayah Bojong Sari, Sawangan, Depok, Jawa Barat. Seperti biasanya, dia sedang menyiapkan orderan ikan gurame yang cukup banyak. Di wilayah itu Hanan menjadi pemasok ikan air tawar terbesar. Tak sekadar berkibar di pasar-pasar tradisional setempat, nama Hanan sebagai pemasok ikan telah menjadi rujukan utama sejumlah supermarket dan swalayan terkemuka di Jakarta. Ikan-ikan Hanan juga memenuhi restoran dan rumah makan seafood di sekitar Depok dan di Puncak, Bogor. Selain gurame, Hanan memasok ikan patin dan bawal.
Berkat usaha tersebut, Hanan berhasil membiayai kuliah dua anaknya di universitas negeri ternama di Jakarta dan Malang. Satu anaknya lagi masih duduk di bangku SMU.

Bukan Usaha Sampingan
Meski Hanan terbilang sukses bersandar hidup pada budidaya ikan, tetapi sebenarnya hal itu tak seketika jatuh dari langit. “Jangan tanya berapa besar pengorbanan saya untuk mempertahankan usaha ini,” ujarnya berretorika.
Pria asal Malang yang cuma mengenyam pendidikan di bangku madrasah ini mengaku terjun di budidaya ikan sejak 30 tahun silam. Waktu itu, katanya, hanya ikut orang. Lalu pada 1985, selain budidaya ikan, Hanan mulai menjajal perdagangannya.
Dari pengalaman itu, kemampuan Hanan dalam hal budidaya ikan kian terasah. Dia kemudian memutuskan secara total menekuni usaha tersebut. “Ikan itu seperti manusia, butuh perhatian. Kalau mau berhasil, usaha ini tak bisa dijadikan sampingan,” ujarnya berfilosofi.
Dan totalitas itu membuahkan hasil. Kini Hanan bisa menjual tak kurang dari 2 kw gurame saban harinya. Tak jarang, permintaan gurame mencapai 5 kw sehari. Pada bulan puasa, permintaan gurame bahkan lebih gila lagi, minimal 8 ton! ”Tiap pagi, apalagi sabtu-minggu, di sini selalu ramai pembeli,” katanya.
Memenuhi permintaan ikan sebanyak itu, Hanan mengaku tak seluruhnya berasal dari kolamnya. “Kalau dari saya sendiri bisa nggak keuber,” ujarnya. Maka Hanan pun bersiasat, sebab kalau tidak pelanggannya akan mencari pemasok lain. Dia mengandalkan pasokan dari pembudidaya lain di wilayah tersebut untuk memenuhi orderan.
Total pembudidaya gurame yang rutin menyetor ikannya ke Hanan ada 25 orang. Semuanya berada di wilayah Depok dan sekitarnya. Hanan menyatakan pernah juga mengambil ikan dari daerah Jawa seperti Kediri dan Purwokerto. Harganya miring yaitu Rp 17 ribu per kg dalam keadaan hidup, sementara jika mengambil dari Depok harganya lebih besar dari itu. Tetapi, kendati lebih murah, Hanan tidak mau lagi mengambil ikan dari wilayah Jawa. Sebab, ikan-tersebut hanya akan tahan 2 atau 3 hari saja di tempatnya. Itu artinya ikan tersebut akan mati ketika sampai di supermarket.
“Inilah anehnya, nggak tahu ikan-ikan itu dikasih bius atau obat apa kok bisa tahan di perjalanan, baru ketika sampai di sini mati,” jelasnya. Hanan tak ingin pelanggannya jera. “Saya harus menjaga mutu barang, ini yang saya pertaruhkan,” imbuhnya.

Beda Harga Mencolok
Penjualan gurame dilakukan dalam keadaan hidup. Sehingga teknik pemanenan mengambil peranan penting. “Gurame yang lecet sedikit saja, bisa langsung jatuh harganya,” ungkapHanan. Ia berpendapat persoalan menangkap gurame tak bisa dilakukan sembarang orang. “Jangan terlalu kenceng dan memegangnya harus terbalik,” ujar Hanan berbagi ilmu. Cara tersebut selain bisa mengurangi risiko lecet pada gurame juga untuk menghindari tamparan si ikan bercambuk ini.
Tetapi meski sudah menguasai teknik pemanenan bukan berarti urusan jual-beli gurame tidak ada masalah. Hanan mengeluhkan perbedaan harga yang besar di pihaknya dengan pihak pembeli. Untuk gurame yang siap konsumsi ¯mulai ukuran 500 sampai 800 g¯ dihargai Rp 22 ribu per kg. Sedangkan gurame lecet atau rusak dihargai Rp 18 ribu per kg.
Harga tersebut setelah sampai di restoran atau di tempat pemancingan menjadi berlipat. "Dari saya kok murah banget ya?” ujarnya sedikit gundah melihat perbedaan harga yang mencolok. Dia mengungkapkan pernah mendapati harga gurame yang hanya berukuran 500 g di tempat pemancingan mencapai Rp 50 ribu per kg. Meski begitu, Hanan tetap tak berkutik. Alih-alih menaikkan posisi tawarnya, dia harus memenuhi segala persyaratan yang cukup ketat dari supermarket. Hanan mengungkapkan, supermarket bersikukuh bertahan pada harga itu dengan alasan pihaknya masih diharuskan membayar pajak yang cukup mahal.

Sumber : Majalah TROBOS edisi Januari 2008

Benih Ikan Nila dari Raja Thailand

Benih Ikan Nila dari Raja Thailand
Senin, 10 Maret 2008 
Gunung Kidul, Kompas - Masyarakat Gunung Kidul masih belum memanfaatkan telaga yang mulai terisi air di musim hujan. Mayoritas dari sekitar 240 telaga terbengkalai, meskipun penuh air. Tahun ini masyarakat diajak mengoptimalkan pemanfaatan telaga dengan menebar benih ikan. Telaga di Gunung Kidul biasanya terisi air selama 5-6 bulan sebelum mengering. Kami mulai membantu penyediaan benih ikan nila. Tahun depan diharapkan masyarakat mulai membudidayakan ikan di telaga secara swadaya, ungkap Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Gunung Kidul Budi Martono, Sabtu (8/3). Tahun ini pemerintah akan membagikan 250.000 ekor nila untuk ditebar di seluruh telaga kabupaten tersebut. Dana itu diambil dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Meskipun ada beberapa danau yang sudah dimanfaatkan untuk budidaya ikan, mayoritas masih terbengkalai.
Di Tlogo Poko, Dusun Poko, Kecamatan Ponjong, misalnya, mulai ditebarkan 12.000 ekor ikan nila yang nantinya akan dikelola oleh kelompok tani setempat. Penebaran benih ikan tersebut dilaksanakan oleh Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X yang mengungkapkan memperoleh benih ikan nila tersebut dari Raja Thailand Bhumibol Adulyadej. Untung Dengan tingkat kematian ikan nila maksimal 20 persen, menurut Kepala Bidang Bina Produksi Dinas Kelautan dan Perikanan Gunung Kidul Sangadi Hudoyo, petani nantinya bisa memperoleh keuntungan yang lumayan.
Dari harga ikan nila Rp 12.500 per kilogram, petani bisa memperoleh hasil penjualan Rp 9 juta. Diharapkan budidaya nila di telaga juga bisa memenuhi kecukupan gizi masyarakat. Apalagi hasil budidaya ikan selama ini masih digunakan untuk konsumsi sehari-hari. Budidaya perikanan darat di Kabupaten Gunung Kidul saat ini masih mengandalkan lele lahan kering. Masyarakat memelihara lele dengan menggunakan terpal yang menampung air hujan. Seorang warga, Wasti (45), mengaku bisa memanen satu kuintal lele untuk konsumsi keluarganya. Awalnya, ia hanya menebar 1.200 benih ikan lele dengan terpal ukuran 3 meter x 5 meter. Jumlah kelompok petani budidaya ikan lele sudah mencapai 87 kelompok. Hasil produksi lele dinilai masih kurang karena hanya cukup untuk pemenuhan konsumsi di Gunung Kidul. Tahun ini pemerintah pusat akan mengucurkan dana Rp 1,4 miliar untuk budidaya lele dan Rp 100 juta untuk nila.
Sumber : Kompas 2008

Pasar Dunia Butuh Banyak Nila

04 April 2007
Pasar Dunia Butuh Banyak Nila

Sebangsa ikan mujair yang paling diminati pasar dunia adalah ikan nila. Beragam produk nila dibutuhkan dalam bentuk utuh beku, fillet (lempengan daging ikan tanpa tulang) segar, dan fillet beku. 

Permintaan pasar dunia terhadap produk nila terus meningkat. Amerika Serikat saja, dalam empat tahun terakhir rata-rata mengimpor ratusan ribu ton. Padahal tahun-tahun sebelumnya baru puluhan ribu ton. Belum lagi permintaan yang dilayangkan sejumlah negara importir lainnya, seperti Jepang, Singapura, Hongkong, maupun Eropa, yang skalanya juga terbilang besar.

Ada sejumlah alasan mengapa nila sangat digemari pasar dunia. Warna dagingnya putih, kenyal, tebal seperti daging ikan kakap merah, dan bergizi tinggi. Rasanya pun tawar, sehingga mudah diolah untuk berbagai rasa masakan. Satu hal lagi, pasokan nila bisa diperoleh setiap saat tanpa dipengaruhi musim lantaran merupakan hasil budidaya.

Sampai sekarang, pemasok produk nila terbesar dunia adalah China. Disusul Indonesia, Taiwan, Thailand, Ekuador, dan Vietnam. Ekspor fillet nila dari Indonesia, hingga saat ini baru mampu melayani sekitar 6% dari permintaan pasar Amerika. 

Melihat pasarnya yang masih menganga, agribisnis nila di dalam negeri semestinya bisa didongkrak menjadi salah satu andalan pemasukan devisa negara. Untuk merangsang agar agribisnis nila dalam negeri berkembang, berbagai ikhtiar harus dilakukan. Di antaranya kejelasan kebijakan, perbaikan infrastruktur, pengembangan benih bermutu, dan perbaikan budidaya.

Sumber : Tabloid Agrina Vol. 2 No. 50, 4 April 2007